Kamis, 28 Maret 2013

Jokowi Si Umar Kecil

Sebenarnya dari jauh hari tangan saya  gatal ingin menulis tentang kehebatan sosok pemimpin yang satu ini. Namun karena satu dan lain hal saya belum bisa merealisasikan keinginan itu. Salah satu faktor  yang menjadi penyebab adalah kurangnya data dan informasi yang saya miliki tentang sepak terjang tokoh ini (maklum saja saya adalah orang super sibuk). Kesibukan saya sebagai seorang fublik figur  menjadikan saya seperti tidak punya waktu untuk mengakses berita kecuali mendengar cerita dari mulut kemulut tentang kehebatan pemimpin masa depan ini.

Cerita tentang kepemimpinan Jokowi  selalu saja terselip ketika seseorang berbicara tentang politik dan kekuasaan. Jokowi kini telah menjadi icon politik dan pemerintahan dalam sebuah diskusi ataupun pembicaraan ringan untuk di jadikan bahan perbandingan. Sepertinya Jokowi sudah mampu menempatkan dirinya sebagai salah satu calon pemimpin legendaris khususnya pada daftar  gubernur –gubernur  terhebat Jakarta. Dan itu akan menjadi kenyataan jika melihat sepak terjang mereka akhir akhir ini. (semoga saja selamanya mereka tetap lurus..!)

Saat saya membuka situs situs berita hari ini, saya menemukan artikel tentang tokoh dalam tema ini seputar  kebijaksanaan beliau memberikan kekuasaan atau jabatan kepada seseorang dalam bentuk lelang (lelang jabatan).  Lelang jabatan sebenarnya bukan hal yang baru di negeri ini, sebab beberapa perusahaan swata dan BUMN sudah jauh hari melakukan kebijaksanaan yang serupa. Namun untuk instansi pemerintahan ini adalah sebuah terobosan baru yang sedikit banyak akan menjadi warna positif tambahan di samping kebijaksanaan positif lainya. Entah mengapa saya langsung teringat tentang kisah kepemimpinan Umar Bin Khattab dalam memilih dan mengangkat seseorang menjadi pejabat.

Agak berbeda dengan Jokowi, Umar dalam menentukan calon gubernur misalnya memilih orang orang yang di anggap mampu namun disisi lain Umar mengetahui bahwa calon yang dipilihnya dipastikan akan menolak dengan tegas. Salah satu contohnya adalah saat Umar memilih periwayat hadits terkenal Abu Hurairah sebagai calon Gubernur. Uniknya lagi di saat pemilihan itu hubungan antara Umar dan Abu Hurairah sedang merenggang karena adanya perbedaan pendapat di antara keduanya. Di ceritakan, sebagai khalifah Umar pernah melarang Abu Hurairah  untuk jangan lagi  menulis/meriwayatkan Hadits agar kaum muslim saat itu lebih fokus pada Al-Qur'an. Maka wajar di saat pemanggilannya beliau sama sekali tidak terpikirkan akan di berikan tawaran "kehormatan" semacam itu.

Dalam sebuah episode pada film Omar diperlihatkan bagaimana Umar di tengah keramaian majelis  menyentil Abu Hurairah dengan bertanya:

” Apakah anda masih suka meriwayatkan (menulis hadits) tentang Rasullullah..?" Dengan santai Abu Hurairah menjawab, ”Ya sekarang ini saya memang tidak pernah menulis (Hadits) lagi, tapi jika anda sudah tiada maka hal itu adalah hak saya untuk melanjutkan atau tidak..”

Mendengar jawaban jujur semacam itu tentu saja membuat seisi majelis riuh rendah tertawa. Dan Umar pun tersenyum mengangguk2 seperti merasakan kekesalan Abu Hurairah atas larangan tersebut. Singkat cerita Umar menawarkan jabatan gubernur untuk wilayah Bahrain, dan seperti yang di duga oleh semua yang hadir Abu Hurairah menolak mentah mentah. Dan  Umar yang melihat penolakan tersebut terus “merayu” sampai akhirnya Abu Hurairah mau menerima beban tersebut. Dan kelak ketika Umar mau memperpanjang masa jabatannya untuk kedua kalinya, Abu Hurairah menolak dengan tegas karena beliau memang benar-benar  "ngeri" dengan jabatan tersebut.

Sebagai seorang Muslim sebenarnya tidak perlu kaget dengan penolakan tersebut, sebab siapapun mengetahui bahwa jabatan pemimpin bagi orang-orang yang berilmu dan taat kepada Allah adalah lebih banyak “musibahnya” daripada senangnya. Berkebalikan dengan jaman sekarang, ketika seseorang di tunjuk atau diberikan sebuah jabatan spontan mereka bertepuk tangan saking gembira dan di ikuti dengan pesta sukuran di rumahnya.

Melihat dari cerita tersebut ada perbedaan antara Jokowi dan Umar, namun saya yakin seyakinnya bahwa tujuan mereka sama yaitu ingin menciptakan pemimpin yang bersih yang memiliki kemampuan di bidangnya. Tentu saja Jokowi tidak bisa mencontoh kebijaksanaan Umar seratus persen dengan alasan tertentu, walaupun daerah yang di urus hanya sebesar jakarta. Sebab Umar tetaplah Umar, seorang pemimpin sekaligus ulama dengan kekuasaan yang sangat besar pada jamannya, dimana wilayah yang di urus adalah mencakup bekas wilayah kerajaan Romawi dan Persia,  namun mampu menciptakan pemerintahan yang bersih di semua wilayah.

Perbedaan gaya pemerintahan  memang harus terjadi dengan faktor-faktor penyebab yang  tidak bisa di hindari lagi, perbedaan sistem, jaman, kultur masyarakat dan lain sebagainya adalah pengaruh yang membuat Jokowi  akhirnya hanya mampu menjadi  Umar Kecil dalam menjalankan pemerintahannya...Bersambung.

Tidak ada komentar: