Jumat, 21 Juni 2013

BLSM ; Manuver Usang Sang Demokrat

Kenaikan harga BBM akhirnya menjadi kenyataan. Ini adalah kelanjutan dari kebijaksanaan tahun sebelumnya yang sempat pemerintah batalkan. Kenaikan BBM apapun alasannya tetap akan  memberatkan
jika melihat kondisi riil bangsa ini yang masih terpuruk.  Jika pada tahun sebelumnya pemerintah masih mendengar protes dari rakyat dengan membatalkan (menunda) kenaikan (meski dampak ekonominya terlanjur dirasakan), maka kali ini pemerintah dipastikan tidak akan peduli meski apapun yang terjadi. Pemerintah pada tahun 2012 bisa saja bangga mengatakan bahwa pembatalan kenaikan BBM mereka lakukan karena "peduli" dengan jeritan rakyat, dan kali ini dengan alasan yang kurang lebih sama (baca : peduli) pemerintah akan melakukan hal yang sebaliknya.

Inilah politik, sebuah seni yang membuat pelaku dan pemainnya dengan mudah mendapatkan pembenaran, tidak peduli keputusan yang diambil terkesan plin-plan dan bernuansa hipokratif. Pendek kata kenaikan BBM bukan semata-mata di karenakan alasan ekonomi melainkan memiliki motif-motif politk yang tersembunyi namun terang. Hal ini tidak terlepas dari program "money politic" yang ikut membonceng di belakangnya, apa lagi kalo bukan  BLT/BLSM. Maka jika  BLSM atau BLT memiliki tujuan tujuan politis, tentunya pembatalan (penundaan) kenaikan BBM 2012 yang lalu  bukan murni karena kepedulian pemerintah, melainkan sekedar trik politik  karena melihat momentum pemilu masih jauh.  Harus di akui, BLT beberapa tahun yang lalu menjadi poin tambahan Demokrat dalam usahanya memenangkan pemilu. Dan seperti ketagihan kali ini Sang Demokrat  akan mengulang kembali manuver usang-nya tersebut.

Demokrat pada periode sebelumnya memang sukses besar dengan program BLT-nya dalam menarik simpati rakyat. Tapi itu dulu ketika Demokrat dalam kondisi di atas angin. Dimana tingkat kepercayaan rakyat masih sangat tinggi terhadap partai ini. Demokrat saat itu memang mampu menampilkan kesan innocent pada dirinya, sehingga setiap kebijaksanaanya (walaupun menyusahkan) selalu terlihat positif di mata rakyat. Tapi kali ini, BLSM tidak lebih dari manuver usang yang hanya akan menjadi blunder bagi partai ini karena alasan yang sebaliknya, yakni tingkat kepercayaan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan kinerja para petinggi Demokrat yang citranya sudah babak belur di mata rakyat. Atau bisa juga kebijaksanaan ini sekedar trik pengelabuan sementara seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu. BBM di naikan dulu, setelah dirasa momennya pas baru kemudian di turunkan kembali untuk menciptkan kesan kepedulian. (Ingat, dalam politik tidak ada yang mustahil untuk dilakukan). Tak ayal lagi pemerintah dalam hal ini Demokrat akhirnya menuai banyak kecaman karena kebijaksanaannya yang di yakini memiliki tujuan politis lain, yakni sebagai jalan untuk memuluskan "program money politik"nya (BLSM)

Tapi di sisi lain, "antusiasme dan dukungan" masyarakat dalam menerima BLSM atau money politic lainnya sebenarnya adalah cermin rasa frustrasi rakyat yang tidak memiliki kepercayaan terhadap calon pemimpin (atau Caleg dalam momentum yang lain). Itulah sebabnya dalam setiap ajang pemilu, para pemilih dan yang di pilih seperti setali tiga uang alias sama sama "tahu diri". Menggunakan bahasa vulgarnya, mereka (calon pemilih) berkata, "Daripada mubazir memberikan suara kepada yang kelak (sama-sama) tidak peduli,  lebih baik suara diberikan kepada yang jelas-jelas memberikan manfaat walau hanya sekejap saja (jual-beli suara)."

Begitupun dari pihak calon yang di pilih seperti memahami jalan pikiran para calon pemilih, sehingga mereka tanpa  merasa takut di kibulin tidak ragu-ragu menghamburkan (bagi-bagi uang) dengan menggunakan istilah biaya operasional, atau malah ada yang nekat menggunakan istiilah istilah religius seperti, sedekah, amal jariyah, hibah dan lain sebagainya. Contoh aneh yang mungkin pernah kita lihat adalah bagaimana seorang caleg harus mengumpulkan seluruh warga sebuah kampung guna menjadi saksi bila dia sang caleg telah menyumbang sekian juta utk pembangunan  masjid. Sebuah fenomena yang kini lazim di lakukan oleh para petualang politik guna mendapatkan simpati massa.

Sehubungan dengan money politic, saya teringat hasil jajak pendapat beberapa bulan yang lalu saat momen Pilkada di sebuah provinsi. Dalam jajak pendapat tersebut di selipkan beberapa pertanyaan untuk mengetahui tingkat pupularitas para calon Kepala Daerah sekaligus beberapa Tokoh Nasional. Tapi bagi saya, yang membuat para korenponden tertarik untuk semangat di wawancarai karena ada pertanyaan-pertanyaan menggiring lainnya yang terkesan seolah-olah pihak surveyor adalah seorang "dewa penolong" yang datang untuk mengetahui kebutuhan mereka. Tidak jarang  ada dari koresponden yang "terjebak" sehingga jawaban yang diberikan  pun seolah  surveyor adalah seorang tim sukses yang menyamar. Itulah sebabnya untuk pertanyaan yg membahas money politik bisa dikatakan mereka kompak menjawab (tanpa malu) “bisa menerima” dan menjanjikan “kami bisa dipercaya”. Sangat jelas jika dalam pemilu ataupun Pilkada, mereka (para pemilik suara) ingin mendapatkan imbal balik secara langsung konkrit. Mereka tidak percaya janji kampanye muluk tentang keadilan, kemakmuran dan hal hebat lainnya yang letaknya entah dimana.

Disisi lain, survey itu juga membuktikan bahwa masyarakat sebenarnya cerdas dalam menilai seorang figur apakah bisa di percaya atau tidak.  Hal ini akan menjadi acuan bagi mereka dalam melihat arti dan tujuan money politik itu sendiri. Artinya khusus utk tokoh2 yang mereka percaya semisal Jokowi, mereka akan mendukung tanpa reserve terlepas ada atau tidak adanya unsur money politic di dalamnya.  Hasil lain dari survey tersebut juga mengindikasikan bahwa SBY sebagai figur masih mempunyai kans di masyarakat, namun Demokrat sebagai partai sebenarnya sudah tamat,  . Maka masuk akal jika melihat situasi ini, Demokrat mati-matian mengusahakan bagaimana supaya BLT versi terbaru bisa terlaksana mendekati hari hari menjelang pemilu (terutama dalam hal pembayarannya) sebagai upaya mengembalikan pamor mereka yang kini meredup.

BLSM tahun ini adalah produk gabungan koalisi bersama lima partai dimana seharusnya PKS adalah yang ke enam dari koalisi tersebut. Dengan menyebut diri sebagai Koalisi Sekretariat Gabungan, mereka (PPP, Golkar, Demokrat, PAN dan PKB minus PKS), menjadi tameng pemerintah untuk melindungi kebijaksaan mengerek naik harga BBM bersubsidi. Dipihak bersebrangan ada partai oposisi (PDI Perjuangan, PKS, Hanura dan Gerindra) dengan tiada daya berusaha jungkir balik melakukan perlawanan sia-sia. Yang dilematis adalah posisi PKS yang terkesan plin-plan sebagai “pembela sekaligus pembelot”

Tetapi yang perlu dicatat, meskipun faktanya program ini adalah produk bersama, tetapi khusus untuk BLSM, yang di untungkan adalah pemerintah dalam hal ini adalah Demokrat dengan catatan BLSM memiliki dampak positif dalam pemilu mendatang. Sebaliknya jika kenaikan BBM ini kelak menimbulkan “dendam” pada masyarakat, maka yang akan menerima getahnya bukan saja Demokrat melainkan partai partai lain yang mendukung program kenaikan BBM ini seperti ,PPP, Golkar, PAN dan PKB. 

BLSM bukan hanya sebuah pembodohan tapi benar benar bisa membuat orang menjadi bodoh beneran.  Di sebuah media lokal yang membahas masalah BLSM dengan Menkeu Khatib Basri, ada cuplikan kalimat bodoh seperti ini; " :.. Menjawab pertanyaan yang menyebutkan bahwa BLSM hanya akan membuat rakyat miskin malas bekerja, menkeu mengatakan bahwa BLSM telah di desain pas..dst. Entahlah saya tidak mengerti maksud dari pertanyaan ini. Ini pertanyaan terlalu berbasa basi dan terkesan tidak mengenal ilmu hitung. Tapi saya yakin rakyat yang kritis tentunya tidak akan silau dengan BLSM yang manfaatnya tidaklah seberapa dibandingkan dengan konsekwensi ekonomi yang akan mereka hadapi. Sebab menurut para ahli, jika pemerintah  serius ingin mensejahterakan rakyatnya, ada banyak alternatif lain yang bisa gunakan tanpa perlu membebani, misalnya pengoptimalan penerimaan dan pemanfaatan pajak, memaksimalkan upaya pemanfaatan sumber daya alam, dan  yang lainnya.

Tapi sebenarnya, jika saja  pemerintah jauh hari sebelumnya bisa menunjukan keseriusannya dalam hal-hal positif terutama yang menjadi persoalan besar bangsa ini, misalnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, niscaya apapun kebijaksanaan pemerintah meskipun itu pahit dengan sendirinya rakyat di negeri ini akan cendrung untuk mendukung. Rakyat sampai saat ini belum melihat keseriusan pemerintah dalam hal-hal besar yang menyangkut rasa keadilan sosial. Jadi benar apa yang dikatakan KH. Din Syamsuddin terkait dengan kenaikan BBM dan program BLSM, bahwa rakyat seharusnya cerdas dan lebih jeli dalam menilai partai mana yang jujur berpihak pada rakyat dan partai mana yang hanya bersandiwara belaka.

## ===== ##


Artikel  lainnya  :
Soeharto Dimata Warga,  G30S/PKI ; Pandangan Instan Dari Luar Garis  Film Omar ( Keteladanan Umar Bin Khattab),  Soekarno-Hatta ; Pahlawan Yang Terabaikan,  Belajar Jujur Dan Amanah; Review Dan Pepesan Kosong,  Jokowi Si Umar Kecil,    Geger Masalah UN Yang Di Undur; Bebas Berpendapat,   Nasdem Dalam Pemilu 2014; Pewarna Blog,  Ganti Rasa Dan Kemasan, Gudang Garam Bunuh Diri,   BLSM ; Manuver Usang Sang Demokrat,   Kenaikan BBM, BLSM, dan Pemilu,

Tidak ada komentar: